Ilustrasi seorang wanita yang cemas dengan terus memandang layar handphone.
INDOZONE.ID - Ketika dalam keadaan stres atau merasa tertekan, mencari perhatian adalah hal normal yang akan dilakukan oleh seseorang. Terkadang, kamu mungkin telah membagikan sesuatu yang bersifat sensitif dan emosional di media sosial.
Akan tetapi, jika kebiasaan ini dilakukan secara terus-menerus dan berlebihan, bisa jadi itu menandakan adanya masalah kesehatan mental, atau kamu tengah membutuhkan bantuan.
Kondisi tersebut dikenal juga dengan istilah, sadfishing. Situasi yang dialami seseorang, dengan membagikan postingan emosional secara berlebihan di media sosial, untuk mendapatkan simpati dan perhatian dari orang lain.
Hal yang sering dibagikan di media sosialnya bisa berupa gambar sedih, kutipan, atau unggahan berupa foto disertai tulisan ambigu.
Baca Juga: Tips Menghadapi Stres dan Tekanan di Era Media Sosial dan Kehidupan Urban
Media sosial kini telah berkembang menjadi tempat untuk orang membagikan momen-momen bahagia. Tapi, ada juga orang yang membagikan masalah dan kesulitan yang mereka alami. Di sinilah letak sadfishing, tindakan mengumbar dan melebihkan masalah emosional demi menarik perhatian dan mendapatkan simpati.
Contoh, ketika seseorang membagikan tulisan ‘Aku lagi susah banget sekarang. Rasanya kayak semua yang aku lakuin gak ada yang bener’, sambil disertai dengan foto sedih tanpa menyebutkan detail spesifik lainnya.
Hal ini, dapat mendorong para pengikut di media sosial untuk memberikan dukungan dan simpati. Meskipun, tujuan si pembuat postingan itu hanya untuk mendapatkan perhatian, bukan dukungan yang sebenarnya.
Baca Juga: Rehat Sejenak dari Media Sosial, Rasakan Manfaatnya untuk Kesehatan Mentalmu
Lalu, mengapa orang memilih untuk melakukan sadfishing di media sosial?
1. Denial akan Sebuah Kondisi
Denial merupakan cara seseorang untuk menghindar dari menghadapi perasaan atau situasi yang menyakitkan. Kondisi ini dapat mengakibatkan seseorang tidak mengenali emosi yang dialaminya sendiri. Umumnya mereka beralih ke media sosial untuk mengekspresikan emosi secara dramatis, dengan tujuan mendapatkan perhatian dan simpati.
Orang tersebut hanya membutuhkan validasi terhadap apa yang sedang dialami. Pelarian sementara ini, tentu tidak akan menyelesaikan masalah yang dihadapi dan emosi akan semakin tidak dikenali.
Ilustrasi seorang wanita yang tampak galau sembari menatap layar ponselnya.
2. Perilaku Cari Perhatian karena Gangguan Kepribadian
Orang-orang yang memiliki gangguan kepribadian histrionik, yaitu selalu bersikap dramatis, lebih rentan melakukan sadfishing. Sebab, mereka butuh perhatian lebih dan merasa tidak nyaman jika tidak menjadi pusat perhatian.
Baca Juga: Bahaya Self-Diagnose Tentang Kesehatan Mental Menggunakan Media Sosial
3. Kecemasan
Sadfishing dapat muncul apabila seseorang berada di kondisi cemas, karena memiliki masalah keterikatan akan suatu hal. Contohnya keterikatan akan media sosial, orang cenderung akan membagikan segala hal di sana.
Seseorang yang selalu merasa cemas, sangat membutuhkan perhatian dan validasi, serta takut akan terjadinya penolakan di hidupnya. Alasan tersebut dapat menyebabkan seseorang melakukan sadfishing.
4. Mabuk
Ketika seseorang dalam keadaan mabuk atau kognitifnya terganggu, kemampuan dan kesadaran dirinya menjadi kurang baik. Terlebih, jika mabuk disertai dengan kondisi emosional lainnya.
Situasi seperti ini dapat mengarah pada unggahan spontan di media sosial, yang berujung dengan mendapatkan respons balasan simpatik dari orang lain.
Tindakan sadfishing dapat berakibat pada memanipulasi emosi orang lain, demi keuntungan pribadi. Biasanya, seseorang hanya membutuhkan validasi terhadap apa yang sedang dihadapi.
Meskipun orang lain cenderung akan memberikan simpati dan dukungan ketika melihat postingan emosional, mereka akan merasa tertipu serta dikhianati jika mengetahui, kesedihan yang ditampilkan hanya pura-pura dan dilebih-lebihkan.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: Psychology Today