Pisang yang dilelang pada November 2024 ini, bukan pisang asli yang dipamerkan di Miami, karena buah tersebut memang dirancang untuk diganti secara berkala.
Ilustrasi pisang. (freepik.com)
Bagi sebagian orang, “Comedian” hanyalah sindiran terhadap dunia seni elite. Akan tetapi, menurut Chloé Cooper Jones, seorang profesor seni di Columbia University, pisang dalam karya ini memiliki makna dalam.
Pisang, sebagai buah dengan sejarah panjang, menjadi simbol eksploitasi global, termasuk dalam konteks imperialisme, tenaga kerja murah, dan dominasi perusahaan besar.
Jones berpendapat, bahwa karya ini memprovokasi penonton untuk memikirkan peran mereka dalam sistem yang menciptakan barang-barang biasa, seperti pisang.
“Jika ‘Comedian’ berhasil memancing refleksi moral, maka itu menjadi alat yang lebih bermakna,” ujarnya.
Water Lilies karya Claude Monet. (metmuseum.org)
Pada waktu yang sama, Sotheby’s juga melelang salah satu karya impresionis terkenal, “Water Lilies” karya Claude Monet, yang diperkirakan bernilai USD60 juta (Rp953 Milyar).
Ketika ditanya tentang perbandingan kedua karya ini, Galperin menjelaskan seni yang mendobrak norma selalu menimbulkan kontroversi pada awal kemunculannya.
“Setiap karya seni besar dalam sejarah awalnya memicu rasa tidak nyaman di kalangan masyarakat,” ujar Galperin.
Dengan perspektif ini, “Comedian” membuktikan seni modern tidak harus berwujud tradisional untuk dianggap bermakna.
“Comedian” karya Maurizio Cattelan tidak hanya menjadi pusat perhatian karena bentuknya yang sederhana, tetapi juga karena ide dan kontroversinya.
Melalui pisang dan lakban, Cattelan menggugah perdebatan tentang nilai seni, simbolisme, dan kapitalisme. Bagaimana menurut kamu?
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: Cnalifestyle.channelnewsasia.com