Baca Juga: Oropouche: Penyakit Baru yang Mirip Demam Berdarah, Apa Bedanya?
Dalam beberapa kasus, laki-laki mungkin kurang terbiasa dengan rasa tidak nyaman yang datang dengan sakit karena perbedaan dalam pengasuhan atau pengalaman hidup, sehingga ketika mereka merasakan gejala flu, mereka mungkin menanggapinya dengan lebih dramatis.
Ilustrasi pria yang sedang menderita demam.
Budaya juga memainkan peran dalam fenomena ini. Dalam banyak budaya, laki-laki diajarkan untuk tidak menunjukkan kelemahan atau mengeluh tentang rasa sakit, tetapi ketika mereka benar-benar sakit, ekspektasi ini bisa terbalik.
Ketika laki-laki akhirnya mengakui bahwa mereka merasa tidak enak badan, mereka mungkin mengekspresikan ketidaknyamanan itu dengan cara yang lebih intens, yang kemudian dilihat sebagai "man flu.
Ilustrasi pria sedang demam dan menunjukkan suhu tubuhnya.
Stres juga dapat mempengaruhi bagaimana seseorang merasakan gejala penyakit. Laki-laki yang mengalami tingkat stres yang tinggi mungkin merasakan gejala flu dengan lebih berat karena sistem kekebalan mereka sudah terbebani.
Baca Juga: 5 Perbedaan Malaria dan Demam Berdarah yang Sering Dianggap Serupa
Selain itu, kelelahan fisik dan mental dapat memperburuk gejala penyakit, membuatnya tampak lebih parah daripada yang sebenarnya.
Fenomena "man flu" bukan hanya sekadar stereotip, tetapi memiliki dasar ilmiah yang menjelaskan mengapa laki-laki mungkin merasa lebih menderita saat mengalami flu atau demam.
Perbedaan hormon, persepsi, budaya, dan faktor psikologis semuanya berperan dalam bagaimana laki-laki dan perempuan merespons penyakit.
Meskipun respons terhadap penyakit sangat individual, pemahaman ini bisa membantu kita untuk lebih simpatik terhadap mereka yang mungkin merasa lebih menderita saat sakit, terlepas dari jenis kelamin mereka.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: Healthline