Slametan tidak hanya sekadar ritual keagamaan, tetapi juga menjadi ajang mempererat hubungan sosial. Masyarakat berkumpul, berbincang, dan memperkuat ikatan antarwarga.
Contoh yang sering terjadi di era modern adalah syukuran saat menempati rumah baru. Sajian makanan kini berupa nasi kotak yang lebih praktis, tanpa menghilangkan nilai kebersamaan.
Selain syukuran rumah baru, tasyakuran kelahiran juga menjadi bentuk lain dari slametan. Acara ini biasanya dilakukan di musala dengan sajian makanan sederhana dan doa bersama.
Ada pula syukuran untuk mengenalkan warga baru di perumahan. Masyarakat berkumpul untuk saling berkenalan, menikmati makanan ringan, dan mempererat hubungan di lingkungan baru.
Slametan adalah hasil perpaduan antara budaya Hindu, Buddha, dan Islam. Meskipun bentuknya mengalami perubahan, tujuannya tetap sama, yaitu untuk memohon keselamatan kepada Tuhan.
Baca Juga: Mengenal Tradisi Sumbangan Pernikahan di Situbondo, Mulai dari Barang hingga Uang
Perbedaan antara slametan di kota dan desa terletak pada bentuk dan penyajiannya. Di kota, slametan lebih sederhana, sedangkan di desa masih dilakukan dengan sesaji yang lebih lengkap.
Tumpeng menjadi simbol yang paling dikenal dalam slametan. Bentuknya yang kerucut melambangkan hubungan vertikal manusia dengan Tuhan, mengingatkan bahwa Tuhan adalah yang tertinggi.
Slametan adalah bentuk ibadah yang dilakukan masyarakat Jawa. Doa yang dipanjatkan dalam ritual ini adalah cara mereka mendekatkan diri kepada Tuhan dan memohon keberkahan hidup.
Di era sekarang, ustaz sering memimpin jalannya slametan. Mereka memandu doa bersama dan menyampaikan pesan tentang makna syukuran dan pentingnya menjaga tradisi ini.
Meskipun banyak perubahan, slametan tetap menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat Jawa.
Tradisi ini tetap relevan, menyesuaikan dengan perkembangan zaman dan tetap dihidupi.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: Jurnal Ikadbudi