Perokok memiliki risiko lebih tinggi untuk serangan jantung, stroke, dan penyakit arteri perifer.
Nikotin dalam cairan vape juga berdampak negatif pada sistem kardiovaskular. Meskipun tidak mengandung karbon monoksida, vape masih dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah dan denyut jantung.
Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memahami sepenuhnya risiko kardiovaskular dari penggunaan vape jangka panjang.
Rokok adalah penyebab utama kanker paru-paru, serta berkontribusi terhadap berbagai jenis kanker lainnya, termasuk kanker mulut, tenggorokan, esofagus, pankreas, kandung kemih, ginjal, dan serviks.
Karsinogen dalam asap rokok bertanggung jawab atas mutasi DNA yang menyebabkan perkembangan kanker.
Sejauh ini, tidak ada cukup bukti yang menunjukkan bahwa vape menyebabkan kanker pada tingkat yang sama dengan rokok tradisional.
Namun, beberapa bahan kimia dalam uap vape diketahui bersifat karsinogenik. Potensi risiko kanker dari penggunaan vape jangka panjang masih belum sepenuhnya dipahami dan membutuhkan penelitian lebih lanjut.
Asap rokok juga berdampak negatif pada kesehatan orang di sekitar perokok (perokok pasif). Anak-anak dan orang dewasa yang terpapar asap rokok pasif berisiko lebih tinggi terkena penyakit pernapasan, infeksi telinga, dan sindrom kematian bayi mendadak (SIDS).
Selain itu, asap rokok menyebabkan polusi udara dalam ruangan.
Uap vape umumnya dianggap kurang berbahaya bagi orang di sekitar dibandingkan dengan asap rokok.
Baca Juga: 5 Bahaya dan Resiko Rokok Elektrik, Ternyata Bisa Sebabkan Penyakit Serius
Namun, uap vape masih mengandung nikotin dan bahan kimia lainnya yang bisa dihirup oleh orang di sekitarnya, sehingga masih ada risiko paparan pasif.
Rokok tradisional diatur secara ketat oleh pemerintah di banyak negara.
Ada berbagai undang-undang dan peraturan yang mengatur penjualan, penggunaan, dan iklan produk tembakau untuk mengurangi prevalensi merokok dan melindungi kesehatan masyarakat.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: WHO, Harvard Health Publishing, CDC