Inilah sebabnya mengapa masa-masa transisi seperti ini sering kali berdampak negatif pada kondisi kesehatan mental kita.
Beruntung, hasil riset mengungkapkan bahwa yang terpenting bukanlah jumlah hubungan sosial yang kita punya, melainkan seberapa baik kualitas dari hubungan-hubungan tersebut yang benar-benar berdampak signifikan.
Harapan dan ekspektasi yang terlalu kaku terkadang justru memperbesar tekanan.
Kemampuan untuk bersikap fleksibel secara emosional bisa jadi sama krusialnya dengan fleksibilitas dalam berpikir.
Individu yang sehat secara mental mampu merasakan berbagai emosi dan membiarkan dirinya untuk mengekspresikannya secara alami.
Namun, ada pula orang-orang yang memandang beberapa emosi sebagai sesuatu yang tidak pantas atau terlalu berat, sehingga mereka cenderung menekan, menjauhkan diri, atau bahkan menyangkal perasaan tersebut.
Minimnya fleksibilitas psikologis telah terbukti berkaitan dengan berbagai gangguan mental.
Riset menunjukkan bahwa memiliki fleksibilitas yang lebih tinggi dapat membantu menciptakan keseimbangan hidup yang lebih sehat, serta meningkatkan daya tahan individu dalam menghadapi tantangan.
Berdasarkan data dari National Alliance on Mental Illness (NAMI), sekitar satu dari lima orang dewasa di Amerika Serikat menghadapi permasalahan kesehatan mental setiap tahunnya.
Beragam faktor risiko dapat memicu meningkatnya peluang seseorang mengalami gangguan atau penurunan dalam kesehatan mental mereka.
Hasil penelitian mengungkapkan bahwa diskriminasi dapat memberikan pengaruh negatif terhadap kesehatan mental.
Ketika seseorang diperlakukan secara tidak adil karena faktor pribadi seperti usia, ras, etnis, disabilitas, orientasi seksual, atau identitas gender, sangat berisiko mengalami kecemasan dan depresi cenderung meningkat.
Menghadapi pengalaman traumatis bisa mempengaruhi kondisi mental seseorang, baik secara langsung maupun dalam jangka waktu yang lama.
Trauma sering dikaitkan dengan timbulnya rasa cemas, depresi, perubahan mood seperti meningkatnya kemarahan dan mudah tersulut emosi, rasa putus asa, hingga munculnya gangguan stres pasca-trauma (PTSD).
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: Verywellmind